“Yujin mau diceritakan bagaimana Papa dan Mama ketemu.”
Alis Sung Hanbin terangkat sebelah. Ia menepuk lembut tubuh Yujin yang berbaring di sampingnya. “Kenapa Yujin minta diceritakan itu?”
“Tadi Yujin main dengan Ollie dan Brian di rumah Papa Ricky. Papa Ricky cerita tentang pertama kali ia bertemu Papa Jingxiang. Katanya mereka ketemu di rumah sakit saat mereka kecil.” Kata Yujin. Anak kecil itu tidak berhenti memainkan kancing kemeja Hanbin. Yujin selalu suka parfum yang dipakai ayahnya. Kata Mama, wangi Papa itu keren. Dan Yujin setuju.
“Kalau Papa dan Mama bagaimana?”
“Hm ... bagaimana ya?” Hanbin menimbang. Sebenarnya ia mengutuk Ricky yang telah lancang menceritakan kisah romansa pada anak sekecil Yujin. Orang itu benar-benar kurang kerjaan. Tidak tahukah dia kalau Yujin harus belajar dan bukan mendengar kisah telenovela?
“Papa!” Dada Hanbin ditepuk. Hanbin terperanjat sedikit, kemudian tertawa kecil.
“Tidak ada yang spesial, Yujin sayang.” Hanbin mengusap rambut anaknya. “Mama dan Papa teman sekelas saat SMA.”
“Teman SMA? Apa itu SMA”
“Itu sekolah Menengah Atas. Tingkatannya SD, SMP, SMA. Kalau Yujin mau ke SMA, Yujin harus lulus sekolah dasar dulu, nanti ke sekolah tingkat pertama, baru ke SMA.”
Yujin terdiam sebentar, kemudian bertanya lagi. “Tahun ini Yujin baru mau masuk TK. Masih tahun depan baru bisa SD. Lama ya, Pa?”
“Hm.. Kalau Yujin belajar sungguh-sungguh, tidak lama kok.”
“Benar?”
“Yujin meragukan Papa?”
Yujin menggeleng. Menggemaskan. Hanbin ingin sekali mencubit kedua pipi anaknya.
“Kalau begitu, sekarang Yujin tidur. Besok Yujin mau pergi dengan Papa Jingxiang kan? Mengantar Ollie dan Brian sekolah?”
Yujin mengangguk. “Tapi, Papa ...”
“Apa? Yujin mau bilang apa?”
“Yujin ... Yujin mau punya adik laki-laki.”
Detik jam terdengar nyaris di samping telinga Hanbin, kala itu. Untuk Papa Muda seperti Hanbin, membuat adik untuk Yujin bukan perkara mudah. Yang pasti tidak semudah membalikkan daging dari panggangan. Butuh perencanaan, baik perencanaan sekarang maupun perencanaan yang akan datang.
“Kenapa?” Hanbin bertanya. “Kenapa Yujin tiba-tiba mau punya adik?”
“Karena Yujin ingin merawat dia seperti Mama merawat Yujin. Yujin mau sisirin rambut dia. Yujin mau pakaikan dia baju yang lucu seperti Yujin punya. Yujin mau ajak dia main bareng Ollie Brian. Yujin mau ajak dia tidur bareng Yujin. Banyak, Pa.”
Hanbin tidak menjawab. Ia memilih kembali menepuk tubuh anaknya yang sepertinya belum kelelahan.
“Papa, mau buatkan Yujin adik?”
Kerutan Hanbin tambah dalam. “Papa tidak membuat adik, Yujin.”
“Bohong!” Dada Hanbin ditepuk lagi. “Kata Papa Ricky, semua orang tua bisa buat adik. Papa hanya harus membawa Mama liburan ke suatu tempat, Yujin tidak apa-apa kok kalau dititipkan ke Kakek atau ke Papa Jiwoong ... karena Papa Ricky bilang, kalau dua orang saling mencintai, suami akan membawa istri ke kamar yang jauh dari orang-orang.”
“Hah? Dia bilang begitu?” Pada akhirnya, Hanbin terpancing juga. Ia cukup marah dengan apa yang Ricky ceritakan pada anak sekecil Yujin. Yang benar saja? kenapa orang itu sama sekali tidak tahu aturan? Hanbin mulai terbayang akan seringai Ricky yang menyebalkan. Ia bersumpah akan memberi pelajaran pada saudaranya itu, besok. Tidak akan dia biarkan Yujin terserang racun yang tidak seharusnya dari Ricky. Setan itu ...
“Papa mau kan?”
Entah, seberapa kuat magnet yang ditimbulkan Yujin. Hanbin bisa langsung melupakan dendamnya kepada Ricky hanya dengan ditatap penuh harap seperti itu.
Mengambil napas, Hanbin berkata lembut. “Nanti papa pikirkan lagi. Sekarang Yujin tidur dulu ya?”
Lalu Yujin mengangguk seraya tersenyum senang. Ia mendekap tubuh Hanbin dan menenggelamkan diri hingga benar-benar terlelap. Setelah itu Hanbin melebarkan selimut, mengecup kening Yujin, dan kembali ke tempat Zhanghao.