Nge Date


.

.

“Serius amat liatin HP-nya.” Hanbin menusuk potongan apel di meja dan melirik saudara tertuanya yang duduk diam di sebelah. Kedua netranya terpaku pada layar ponsel di tangan. “Lagi nge-chat siapa, sih?”

“Mau tau aja,” ketus Jiwoong.

“Halah, paling juga nge-chat gebetan,” cibir Hanbin. “Siapa, sih? Matthew, ya?”

“Sok tau.”

Hanbin kembali mencibir. Ia memalingkan wajah ke layar televisi dan mengganti saluran dengan bosan. Kenapa tidak ada acara menarik hari ini?

“Bin, kayaknya kecap habis, deh.”

Hanbin mendongak. Kekasihnya muncul dari dapur, masih memakai celemek dan membawa-bawa sudip. Ya Tuhan, kenapa penampilannya istri-able sekali? Hanbin jadi ingin mempersuntingnya saat itu juga?

“Masa', sih? Kayaknya kemarin baru beli, deh,” kata Hanbin. “Bentar, aku coba cari.”

Hanbin meletakkan garpunya dan bangkit. Ia sempat mendengar Jiwoong bergumam dan melirik. Tunggu, apa Jiwoong sedang tersenyum sendiri pada layar gawainya? Sudah Hanbin duga, pasti Jiwoong sedang mengobrol dengan gebetan. Tapi, siapa?

“Hao, coba kamu chat Matthew, deh,” cetus Hanbin saat ia tengah menuang kemasan kecap isi ulang ke dalam botol.

“Buat apa?” tanya Zhanghao heran. Ia menumis bawang dan menyiapkan nasi goreng untuk makan siang mereka.

“Tanyain, dia lagi chattingan sama Kak Jiwoong, nggak?”

“Emang Kak Jiwoong lagi nge-chat sama Matthew?”

“Ya makanya kamu tanyain,” Hanbin berdecak. “Aku tanya ke Kak Jiwoong dia nggak mau jawab.”

“Emangnya kenapa kalau mereka beneran lagi chattingan?” Zhanghao mengangkat alis heran.

“Yah, nggak apa-apa, sih. Cuma kepo aja,” Hanbin nyengir, sang kekasih hanya memutar mata.

“Nggak usah kepoin urusan orang, deh. Nanti yang ada Kak Jiwoong ngamuk lagi.”

“Iya, iya,” Hanbin menghela napas. Ia menyerahkan botol kecap pada Zhanghao dan mengawasi pemuda itu mengaduk nasi di wajan.

“Hao, mau jadi istri aku, nggak?”

“Nggak sudi.”


“Lihat deh, Rae.”

Taerae yang tengah fokus pada tabel statistik di laptopnya mendongak. “Apa?”

“Lihat tuh, Kakak.” Hanbin menunjuk dengan sendok es krimnya.

Jiwoong masih belum beranjak dari konter dapur sejak setengah jam yang lalu. Jarinya bergerak lincah menggulir layar ponsel. Sesekali ekspresinya tampak mengernyit seolah tengah berpikir. Namun di lain waktu, senyum tipis tertarik di sudut bibirnya.

“Menurut kamu dia ngapain?” tanya Hanbin.

“Entah,” sahut Taerae cuek. Ia memilih untuk kembali fokus pada laporannya.

“Menurut kamu Kak Jiwoong udah punya pacar?” Hanbin menyipitkan mata penasaran. Sesendok es krim vanila disuapkan ke mulut tanpa mengalihkan pandangan dari saudara kembarnya.

“Ya kali aja,” Taerae mengedikkan bahu.

“Siapa ya? Cewek apa cowok? Kayaknya bukan Matthew, deh.” Hanbin termenung sejenak, mencoba berpikir. “Tapi emangnya dia dekat sama siapa lagi selain Matthew, coba?”

Taerae memilih untuk tidak menanggapi. Ia membiarkan saja saudaranya itu tenggelam dalam rasa penasarannya sendiri.

Hanbin bangkit dari sofa. Ia melangkah tanpa suara ke arah dapur, sebisa mungkin berusaha mendekati Jiwoong tanpa disadari pemuda itu. Hanbin ingin mencari tahu, siapa yang mampu membuat seorang Jiwoong tersenyum-senyum sendiri sambil memainkan ponselnya.

Jiwoong tiba-tiba saja bangkit dari kursi. Hanbin nyaris terjengkang dalam usahanya mengerem langkah mendadak. Ia hanya nyengir tanpa dosa saat sang kakak menyipitkan mata curiga padanya.

“Kamu mau ngapain?”

“Nggak ngapa-ngapain, kok,” sahut Hanbin santai. “Mau ambil es krim lagi di kulkas.”

Jiwoong mendengus. Ia berjalan melewati Hanbin yang berusaha mengintip layar ponsel yang digenggam tangannya.

“Mau ke mana, Kak?” tanya Hanbin penasaran.

“Nge-date.”

Hanbin membelalak. “Serius!?” ia berseru heboh.

Taerae sampai mengangkat wajah dari laptopnya. “Malem-malem gini? Sama siapa?”

Jiwoong berlalu tanpa membalas. Hanbin segera mengekorinya ke lantai dua.

“Kamu mau nge-date ke mana? Taman bermain? Pasar malam? Nonton?” Hanbin melempar pertanyaan bertubi-tubi. “Kalau kata aku, sih, buat kencan pertama itu bagusnya ke bioskop. Biar nggak canggung kalau nggak ada bahan obrolan gitu, 'kan. Terus sekalian kamu bisa tau seleranya dia kayak apa. Kalau dia sukanya model film action atau musikal kayak Zhanghao, berarti dia tipe yang nggak gampang diluluhin. Kamu harus pinter-pinter ngambil hati dia berarti. Tapi kalau seleranya film romantis—”

“Berisik,” tukas Jiwoong, mendelik jengkel. “Nggak usah ikut campur urusan orang kenapa, sih?”

“Ih, aku 'kan cuma penasaran,” cibir Hanbin. “Ini momen langka, seorang Jiwoong akhirnya dapat pacar! Mau diadain syukuran, nggak?”

“Nggak perlu,” ketus Jiwoong. Ia membanting pintu kamarnya menutup di depan wajah Hanbin.

“Kira-kira siapa, ya?” Hanbin meletakkan telunjuk dan jempol di dagu sambil berpikir. “Ah, nggak penting sama siapa. Yang penting Kak Jiwoong akhirnya laku. Aku terharu.”

Hanbin menggeleng dan mengusap air mata buaya di sudut matanya. Ia kemudian bergegas ke kamarnya sendiri dan mulai membongkar lemari. Jika Jiwoong akan menghadapi kencan pertamanya malam ini, Hanbin sebagai saudara yang baik dan pengertian, juga lebih berpengalaman, akan memastikan saudaranya terjun ke medan perang dengan atribut lengkap.

.

.

.

“Kalau kencan, yang paling penting itu penampilan. Jadi kamu jangan dateng pakai jaket lusuh kamu yang biasa. Harus pakai baju bagus.”

Hanbin menjejerkan beberapa kemeja di kasur Jiwoong.

“Kamu mau pakai yang mana? Ini semua baju aku yang paling bagus. Aku pinjemin buat kamu deh biar kencan kamu hari ini lancar.”

Jiwoong hanya memandangnya tanpa ekspresi. Sebelah aslinya terangkat, tapi ia tidak berkomentar apapun.

“Terus ya, jangan jadi cowok bau. Jadi kamu harus pakai parfum, jangan kebiasaan cuma pakai minyak kayu putih doang setiap hari.”

Hanbin meletakkan botol parfum dan gel rambut di samping pakaiannya. “Terus rambutnya juga dirapihin dikit. Mau aku bantu modelin biar makin kece?”

Jiwoong tampak tidak peduli meski Hanbin sudah mengerahkan semangat berapi-api. Ia berdecak. Lengannya tersilang menatap sang kakak yang masih betah berselonjor di kasur memainkan ponsel.

“Kamu niat mau kencan nggak, sih? Kok belum siap-siap? Jangan bilang kamu mau pergi tanpa mandi?”

“Ini aku lagi kencan,” sahut Jiwoong tenang.

“Hah? Gimana?” Hanbin memandangnya heran.

Jiwoong menunjukkan layar ponselnya pada Hanbin. ia menyipitkan mata, memandang tampilan sebuah permainan kencan daring di sana. Hanbin tercengang, memandang saudaranya tak percaya.

“Jadi yang kamu maksud nge-date itu ... date di otome game!?”

.

.