Halte Bus


Zhanghao duduk di kursi halte untuk menunggu bus yang akan segera tiba. Dia baru saja pulang dari kumpul klub musiknya di sekolah. Sesekali diliriknya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, waktu semakin sore.

Suasana halte kali ini sepi, hanya ada beberapa pejalan kaki dan kendaraan yang kebetulan melintasi jalanan tersebut.

Zhanghao menoleh kala melihat seseorang berdiri di ujung kursi halte, sambil menyandarkan punggungnya pada sebuah tiang. Iris gelap-nya melirik langit-langit yang berwarna jingga, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, topi hitam dengan aksen hijau menghadap depan, dan seragam sekolah berbeda dengan apa yang Zhanghao kenakan.

“Sekolah sebelah?” tanya Zhanghao pada dirinya sendiri.

Dia mengedikkan bahu. Zhanghao tak mengenalnya, ia tidak harus peduli dimana pemuda itu sekolah.

Kala itu pula, bus yang dinanti tiba dan berhenti di hadapan halte. Zhanghao langsung menaiki bus tersebut, lalu duduk di dekat jendela. Manik cerah-nya tak sengaja berbenturan dengan pemuda itu yang juga meliriknya.

Zhanghao mengernyit heran ketika si pemuda tak kunjung menaiki bus, meski kendaraan umum itu kembali melaju.

Bukan urusannya, kan?


*** Boys Planet, Jeonghao AU*** *** bxb Lee Jeonghyeon x Zhanghao*** Enjoy Reading


Sore ini, Zhanghao kembali menunggu bus sambil bertukar chat dengan sahabatnya, Rui. Sesekali Zhanghao tersenyum ketika Rui memberikan sebuah candaan.

Lagi, Zhanghao dikejutkan dengan kehadiran pemuda itu. Kali ini duduk dengan jarak dua meter di samping Zhanghao, dan iris matanya melirik langit yang menyenja.

Eh, Rui. Tahu nggak? Ada cowok di halte. Tapi dari kemarin, dia kayak lagi nggak nungguin bus.

Balasan datang dengan cepat dari Rui.

Modus ke kamu kali.

Zhanghao mengernyitkan dahi. Mana mungkin modus. Tidak ada yang mau mendekatinya karena Zhanghao bicara blak-blakkan tanpa hati. Dan terkadang, sikapnya yang 'blangsakan' membuat cewek maupun cowok langsung mundur. Mana mungkin, kan?

Zhanghao melirik pemuda itu dengan ekor matanya. Kali ini, ia menutup kedua matanya—yang entah Zhanghao ketahui si pemuda sedang apa.

Merasa diperhatikan, pemuda itu langsung menoleh cepat dan iris gelap serta cerah langsung bertabrakan.

Zhanghao salah tingkah, ia langsung memfokuskan diri pada ponselnya dan Rui. Meski tangannya malah bergetar samar saking salah tingkahnya.

Bus tiba di hadapan Zhanghao, ia langsung menaiki bus dengan langkah cepat. Lagi, si pemuda hanya menatap Zhanghao tanpa memiliki keinginan untuk menaiki bus.

Zhanghao tidak mengerti sama sekali. Kalau bukan untuk menaiki bus, lalu apa yang ia lakukan?

“Ah, bukan urusanku.”


“Kau ini siapa, sih?”

Hari ketiga, dan Zhanghao memberanikan diri untuk bertanya pada pemuda bertopi hitam hijau itu dan berpenampilan sama seperti sebelumnya.

Kedua bola matanya langsung menilik Zhanghao dengan saksama, tetapi tak keluar satu patah kata pun dari bibirnya.

Zhanghao gemas. Ia duduk di samping pemuda itu tanpa memperhatikan reaksi si pemuda.

“Kau ini siapa?” tanya Zhanghao mengulangi pertanyaannya.

Pemuda itu berdeham sebelum menjawab. “Orang.”

Meski suaranya serak dan menggoda, Zhanghao malah jengkel dengan jawaban yang dilontarkan. “Seriusan!”

“Lee Jeonghyeon,” ucapnya lagi sambil menatap langit-langit halte.

“Aku Zhanghao,” balas Zhanghao sambil tersenyum.

“Tahu.”

Zhanghao mengerjap. “Tahu? Dari mana? Dari siapa? Kok bisa tahu namaku?”

“Pertanyaanmu kebanyakan dan kecepetan, satu-satu,” ujarnya datar.

“Kau tahu dari mana namaku?”

“Dari orang.”

Baik, Zhanghao tambah jengkel. Kalau bisa, Zhanghao ingin menendang pemuda yang berada di sebelahnya ini. “Kau ini siapa, sih?!”

“Kan sudah kubilang, aku Lee Jeonghyeon. Kau tuli, ya?”

“Enak aja!”

Hening. Suasana sepi membuat Zhanghao malah merasa bersalah karena sebelumnya membentak Jeonghyeon. Padahal, Zhanghao tidak biasanya mudah merasa bersalah. Namun entah kenapa, Jeonghyeon ... berbeda.

“Maaf,” ucap Zhanghao.

Jeonghyeon hanya mengangguk, dan tak mengatakan apa pun lagi.

Bus tiba kala itu. Terpaksa perpisahan perlu diucap.

“Sampai jumpa, Jeonghyeon,” ucap Zhanghao dan hanya tatapan lembut yang Zhanghao dapatkan.

Tatapan yang entah mengapa membuat hatinya menghangat. Zhanghao tak bisa membayangkan jika tatapan itu tak lagi sama.


“Minta nama akunmu, dong,” pinta Zhanghao sambil mengulurkan ponselnya pada Jeonghyeon.

“Akun apa?” tanya Jeonghyeon. Meski begitu, ia meraih ponsel milik Zhanghao.

“Apa aja, sekalian nomormu, ya.” Zhanghao tersenyum lebar, dan Jeonghyeon mengutak-atik ponsel Zhanghao.

“Follow akun sosial mediaku, semua,” ujar Zhanghao lagi.

Jeonghyeon mengangguk, lalu membuka sebuah aplikasi chat untuk menambahkan nomornya.

Entah apa yang membuat Zhanghao berani meminta akun sosial media atau nomor dari pemuda yang baru ia temui selama empat hari. Zhanghao tidak mengerti pada dirinya sendiri, dan tidak akan pernah mengerti.

Zhanghao menatap wajah pemuda itu dengan senyuman kecil. Zhanghao tidak waras kalau mengatakan bahwa pemuda itu tidak tampan. Karena nyatanya, ia memiliki wajah seperti seorang aktor drama korea yang selalu Zhanghao tonton. Sama tampannya.

Jeonghyeon menyerahkan ponsel milik Zhanghao kembali pada pemiliknya, dan saat itu juga Zhanghao sadar bahwa ia diam-diam memperhatikan.

“Aku tahu aku tampan, tidak usah melihatku sebegitunya,” ucap Jeonghyeon sambil menatap langit.

Kedua pipi Zhanghao bersemu, ia tertangkap basah karena memperhatikan. “A-aku tidak memperhatikanmu!” ucapnya sambil membuang muka.

Jeonghyeon tersenyum tipis, membuat Zhanghao yang melirik Jeonghyeon dengan ekor matanya malah salah tingkah. Zhanghao belum pernah melihat pemuda itu tersenyum, dan hal itu sangat manis. Sangat-sangat manis hingga Zhanghao rasanya mau pingsan.

Zhanghao berdeham, berusaha bertingkah cool.

Decitan ban dan jalanan yang berbunyi menarik perhatian keduanya.

“Busmu sudah sampai, tuh. Sampai nanti, ya.” Jeonghyeon mengacak surai Zhanghao pelan. Terlihat biasa tetapi tidak dengan dampak yang diberikan

Zhanghao mengangguk cepat, ia buru-buru menaiki bus sebelum kendaraan umum itu mulai meninggalkan halte.

Zhanghao duduk di dekat jendela, ia bisa melihat Jeonghyeon melambai pelan padanya. Zhanghao membalas singkat, lalu menyentuh kepalanya saat bus sudah kembali melaju.

“Dasar, baru ketemu udah bikin salah tingkah,” rutuk Zhanghao dengan suara pelan.

Dia membuka ponselnya, mencari kontak sahabatnya lalu mengirimkan chat.

RUIRUIIIIII! Tahu nggak? Aku salah tingkah tahu, aku kayak orang bodoh!

Zhanghao menunggu balasan dengan hati melonjak senang. Dalam hati merutuki dirinya sendiri yang bisa jatuh semudah itu.

Ketika notifikasi berbunyi, Zhanghao langsung mengeceknya. Namun bukan dari Rui, melainkan dari seseorang yang kali ini ada di pikirannya.

Sampai nanti, ya.

Singkat, tetapi Zhanghao merasakan ia bisa pingsan kapan saja.

Zhanghao bahkan tidak tahu kapan pemuda itu mencatat nomornya di dalam ponsel atau telapak tangan. Dan pertanyaannya... Kok bisa Jeonghyeon punya nomornya?


Kalau dibilang jatuh cinta, hal itu adalah hal yang tabu.

Namun bisa saja. Bisa saja Zhanghao jatuh pada seorang pemuda dengan ciri-ciri yang pertama, tampan, dan bisa menjeratnya dengan pesonanya.

Zhanghao meneguk ludah. Kakinya membawanya ke halte tempat biasa untuk Zhanghao menunggu bus yang membawanya pulang.

Kali ini, hatinya bergetar. Zhanghao tahu ia berlebihan dalam menyikapi—yang Rui kemarin malam katakan—cinta. Padahal, dilihat dari sekolahnya, banyak orang yang malah terlihat santai di samping pasangannya. Namun bukan berarti Zhanghao mau berpasangan dengan Jeonghyeon!

Rileks, Zhanghao. Kamu bukannya mau diajak nikah lari, kok. Eh, bukan berarti aku mau nikah sama dia juga!

Selagi sibuk dengan pikirannya, Zhanghao tanpa sadar telah tiba di halte. Kali ini, rupanya pemuda itu telah tiba lebih dulu di halte.

Dari samping aja ganteng banget—fokus, Zhanghao!

Zhanghao menghampiri Jeonghyeon setelah menyiapkan senyumnya yang manis.

“Halo, Jeonghyeon!” sapa Zhanghao ceria. Pemuda itu duduk di atas kursi halte, sekaligus di samping Jeonghyeon.

Jeonghyeon tak membalas, ia malah sibuk menatap langit senja.

“Hei, langitnya nggak kemana-kemana, kok,” ujar Zhanghao.

Jeonghyeon menoleh dan Zhanghao langsung mati kutu. “Begitu lah.”

“Aku punya pertanyaan,” lanjut Zhanghao setelah berdeham singkat.

Jeonghyeon mengangguk, lalu memperhatikan jalanan yang dilalui beberapa kendaraan.

“Kenapa kau ... selalu memperhatikan langit?”

“Nggak tahu. Bagus aja.”

“Jawaban macam apa itu.” Jeonghyeon menggedikan bahu.

Bus tiba saat itu juga. Untuk kali ini, Zhanghao rasanya ingin mendorong kendaraan umum itu mundur dan memberinya sedikit waktu hingga Zhanghao bisa bicara banyak pada Jeonghyeon. Zhanghao bahkan baru bertemu dengan Jeonghyeon beberapa detik lalu.

“Pergi sana,” ucap Jeonghyeon, lalu mengelus kepala Zhanghao singkat.

Zhanghao mengangguk patah-patah, dia menaiki bus lalu duduk di kursi dekat jendela.

Iris mata Zhanghao memperhatikan gerakan bibir Jeonghyeon yang terbuka. Seperti mengucapkan sesuatu.

Bus melaju dan kedua pipi Zhanghao malah merona merah. Sial.

“Aku menyukaimu.”


Zhanghao berlari kecil sambil menutupi kepala dengan telapak tangan.

Sore ini, hujan deras mendadak luruh kala Zhanghao sudah setengah jalan menuju halte bus. Mau berbalik dan meneduh di area sekolah juga sama dengan percuma.

Pemuda itu akhirnya tiba di halte bus yang sepi. Untung saja pakaiannya tak terlalu basah.

Jeonghyeon belum tiba saat ini. Bukan berarti Zhanghao sangat mengharapkan kehadirannya di sini untuk menemaninya mengobrol sebentar.

Sambil duduk di atas kursi halte dan memeluk tubuh tanpa jaketnya, ekor matanya tanpa sengaja melihat seseorang mendekat. Zhanghao refleks menoleh dan benar saja, Jeonghyeon tanpa payung dan pakaian luar biasa basah tengah berjalan santai.

Zhanghao tak mengerti kenapa Jeonghyeon bisa sesantai itu dalam hujan-hujanan. Kalau untuk Zhanghao, mamanya pasti akan marah dan mengomelinya.

“Kenapa main hujan-hujanan?!” tanya Zhanghao dengan nada siap mengomel.

“Nggak ada payung,” jawab Jeonghyeon singkat, lalu mengambil tempat di samping Zhanghao.

“Terus kenapa ke sini kalau nggak ada payung? Selama ini juga kamu nggak naik bus, tuh.”

“Ya, buat ketemu kamu.”

Suhu kali ini memang dingin, tetapi Zhanghao malah merasa suhu tubuhnya hangat dan ia kepanasan. Bahkan rona merah muncul di kedua pipinya.

“Kenapa harus bertemu denganku?!” tanya Zhanghao mencoba galak.

Jeonghyeon menatap langit yang meluruhkan air hujan. “Kalau kata saudaraku. Kalau cinta ya, perjuangkan.”

Ah sial, apanya yang diperjuangkan? Zhanghao tidak mau terlalu merasa percaya diri jika cinta yang Jeonghyeon maksud ternyata bukan dirinya.

“Dan aku akan memperjuangkannya tentu saja,” lanjut Jeonghyeon lalu tersenyum sambil menatap Zhanghao.

“Apa maksudmu, hah?!” Zhanghao mengalihkan pandang, tak mau menatap pemuda itu lebih lama. Hal itu tidak baik untuk kesehatan jantungnya.

“Ya, kamu. Aku suka… bukan. Cinta. Sama kamu. Sungguhan, aku nggak bercanda,” ujar Jeonghyeon.

“E-eh, bajumu basah semua, kau bawa baju ganti?”

“Jangan mengalihkan pembicaraan,” ucap Jeonghyeon membuat Zhanghao bungkam. “Aku mencintaimu.”

Tak ada yang tahu bahwa detak jantung pemuda itu juga melebihi ritmenya. Jeonghyeon telah memberanikan diri untuk menyatakan pernyataan cintanya secara langsung setelah beberapa minggu ini ia datang ke halte bus untuk bertemu pemuda cantik itu.

“Y-ya, terus?!” Zhanghao kembali mencoba galak, tetapi Jeonghyeon melihatnya sebagai Zhanghao yang salah tingkah.

Jeonghyeon terkekeh pelan. “Jadi pacarku, ya?”

“P-p-pacar?! Kau tanya siapa?” tanya balik Zhanghao dengan gugup dan cepat.

Zhanghao tak bisa membayangkan bahwa ia akan mendapatkan pacar, Zhanghao bahkan tak pernah membayangkannya. Namun kali ini, seorang pemuda menginginkan Zhanghao untuk menjadi pacarnya. Yang kalau dilihat status sejak lahirnya, Jeonghyeon akan menjadi pacar pertama Zhanghao.

Zhanghao sulit bereaksi.

“Pertanyaanmu itu kuanggap sebagai 'ya'.” Jeonghyeon tersenyum, lalu mengacak surai Zhanghao yang sempat lepek karena air hujan.

“T-t-tanganmu basah,” ucap Zhanghao yang kali ini merasa bahwa dirinya gila. Perutnya terasa dihinggapi oleh ribuan kupu-kupu, detak jantungnya berlomba-lomba, dan Zhanghao merasa ia terbang terlalu tinggi.

“Iya, Pacar. Kan habis hujan-hujanan.”